Selamat Datang

W e l c o m e t o M y W o r l d . .
Aku disini menulis..Aku disini membaca
Aku disini membuat tugas..Aku disini mendapat ilmu

Kirim Kartu

Rabu, 19 Maret 2008

Melek HaKI

oleh : Aulia Gema Fahmi*
HaKI suatu singkatan yang mulai terdengar santer baru-baru ini dikalangan masyarakat luas. Dengan diklaimnya tarian Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange sebagai milik Negara lain dan mungkin masih banyak kebudayaan Indonesia yang diakui oleh negara lain. Mata pemerintah dan masyarakat seolah-olah terbuka melihat kelalaian yang ada selama ini. Bagaimana itu semua dapat terjadi? Sudah Maksimalkah peran pemerintah dalam HaKI ?
Hak atas kekayaan intelektual merupakan hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia, yang dapat berupa kerya-karya dibidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. HaKI itu sendiri dibagi dua yaitu hak cipta dan hak atas kekayaan industri. Hak cipta mengatur karya cipta yang dihasilkan manusia, hak ini melekat khusus pada penciptanya. Sedangkan Hak atas kekayaan industri meliputi paten, merek, rancangan industri, informasi rahasia, indikasi geografis, denah rangkaian, dan hak pemulia tanaman.
Undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya konvensi Paris untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian konvensi Berne 1886 untuk masalah Hak Cipta (Copyright).
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Selayaknyalah kebudayaan tersebut dijaga keberadaanya. Sebagai bangsa Indonesia melestarikan kebudayaan telah menjadi kewajiban, selain karena kebudayaan tersebut menjadi identitas Negara kita, kebudayaan juga merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Harus ada tim yang mendata budaya-budaya Indonesia, sehingga kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat tercatat dan terdefinisi. Dengan terdefinisinya budaya-budaya tersebut dapat mengurangi pengambilalihan kebudayaan seperti yang baru-baru ini terjadi, apalagi jika keudayaan tersebut di daftarkan ke Ditjen HKI.
Selain budaya masih banyak lagi kekayaan intelektual bangsa kita yang seharusnya di daftarkan ke HKI, banyak produk-produk baru dari bangsa Indonesia yang belum di daftarkan ke HKI. Hal itu dapat dilihat dari data tahunan Ditjen HKI, yang menunjukkan dari hampir 5000 pendaftar paten tahun 2006, yang merupakan pendaftar paten domesti8k kurang dari 600-nya. Betapa kurangnya kepedulian masyarakat terhadap HaKI tersebut, data itu baru menunjukan pada satu cakupan HaKI, belum meyangkut cakupan-cakupan HaKI yang lainnya.
Saat ini dapat kita lihat campur tangan pemerintah yang mulai merasa marah, mulai merasa kecolongan, mulai mempunyai rasa memiliki padahal dapat kita lihat sebelumnya mereka adem ayem saja tentang Hak atas kekayaan intelektual ini. Mereka baru bertindak ketika lagu “Rasa Sayange” diklaim dan didaftarkan lebih-lebih ketika tarian Reog Ponorogo di klaim juga sebagai kebudayaan asli Malaysia. Kemanakah pemerintah selama ini, padahal bukan kesenian itu saja yang mungkin telah diambil oleh Negara lain.
Tapi, bagaimana pelanggaran HaKI yang seakan-akan tidak kita sadari, kita melakukannya dengan enak seperti pembajakan VCD, DVD, Software komputer. Sudah sangat sering kita mendengar pembajakan-pembajakan atas hasil seni, hasil karya orang lain. Dengan mudahnya kita mendapatkan barang-barang bajakan tersebut, dengan santai dan penuh rasa bangga kita mengumumkan kita telah mendapatkan bajakan tersebut. Sebagai contoh saja film Ayat-Ayat Cinta yang seharusnya diputar di bioskop pada tanggal 28 Februari 2008. sudah dapat kita temui di berbagai warnet-warnet. Dan kita dengan bangganya mengatakan “Aku loh udah nonton Ayat-Ayat Cinta!”. Lalu dengan marah kita berteriak-teriak atas pengakuan negara lain atas kebudayaan kita, tapi ternyata kita sendiri mendukung pelanggaran yang kita hujat. Kita melakukan, menghalalkan, mempermudah dan bangga terhadap pembajakan yang kita lakukan, tapi kita megnhujat negara lain yang membajak kebudayaan kita.
Mungkinkah kita telah menjadi bangsa yang munafik. Munafik akan diri sendiri. Yang tidak mau melihat kesalahan diri sendiri, yang tidak mau melihat kebenaran, yang hanya duduk terdiam melihat apa yang terjadi dan hanya menyunggingkan senyum dan muka kecutnya. Ataukah kita memang tidak tahu bahwa itu salah ?
Pengetahuan dan hukum yang jelas mungkin perlu diterapkan dalam penegakan HaKI. Lembaga-lembaga HaKI perlu pensosialisasian lebih lanjut. Pemberian Informasi perlu di sebarkan pada berbagai segmen. Secara luas dapat pula diberikan pendidikan pemahaman hak cipta pada daerah-daerah. Pendidikan ini ditujukan ditujukan kepada anak-anak maupun orang dewasa, sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban menghormati karya cipta seseorang.

Sentra HaKI Sebagai Solusi Alternatif Pematenan Kekayaan Intelektual
Kehadiran sentra HaKI di kampus-kampus, diharapkan memudahkan mahasiswa maupun dosen bahkan mungkin masyarakat umum, untuk mematenkan karya atau penelitiannya. Namun, kehadiran lembaga tersebut, ternyata belum mampu memancing mereka agar semakin bergairah mendaftarkan karya penelitiannya untuk dipatenkan. Padahal, kehadiran sentra HaKI di kampus, sebenarnya bisa memperpendek urusan pengurusan sertifikat HaKI.
Selama ini, sertifikat HaKI memang hanya dikeluarkan oleh Dirjen HaKI Departemen Kehakiman dan HAM. Juga ada lembaga HaKI yang memiliki kualifikasi internasional di beberapa negara seperti Amerika dan Australia. Sentra HaKI di kampus, hanyalah fasilitator yang menghubungkan peneliti atau pencipta, untuk mengurus sertifikat HaKI.
Lamanya proses sertifikasi HaKI ini, salah satunya disebabkan banyaknya persyaratan yang diterapkan oleh Dirjen HaKI. Naskah karya yang akan dipatenkan juga harus memiliki bahasa hukum, sehingga bisa punya landasan hukum. Setelah pendaftaran, biasanya Dirjen HaKI akan mengumumkan karya tersebut. Maksudnya, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk komplain, jika merasa karya seseorang ini hasil plagiat atau sama dengan karya orang lain.
Sebagai sebuah lembaga sentra HaKI mungkin dapat mengatasi sedikit masalah tentang HaKI. Tapi kenyataanny masih sangat kurang sentra-sentra HaKI dikampus-kampus itu digunakan. Banyak yang tidak tahu tentang keberadaan sentra-sentra HaKI tersebut di kampus-kampus. Memang tidak seluruh kampus memiliki sentra HaKI, namun setidaknya sentra-sentra HaKI yang ada mensosialisasikan diri atas keberadaanya.
Barangkali sebagai jalan keluar yang sangat penting adalah dibangunnya iklim koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah berkewajiban membangkitkan keinginan para seniman di daerah untuk mematenkan hasil karyanya. Pemerintah daerah seyogyanya memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif membantu para pemilik kekayaan intelektual yang belum ”melek HaKI” untuk mematenkan karya ciptanya.

* Mahasiswa Jurusan Manajemen Unibraw

Tidak ada komentar: